Followers

Jumat, 10 April 2009

MUSNAD AHMAD IBN HANBAL: PROFIL DAN MANHAJ

Mukaddimah
Perhatian para ulama terhadap hadits-hadits Nabi ditunjukkan, salah satunya, melalui upaya kodifikasi dan dokumentasi. Banyak data-data sejarah yang menunjukkan bahwa upaya penulisan hadits telah dimulai sejak masa-masa yang paling awal dari sejarah Islam.
Berdasarkan pola penulisan dan penyusunannya, literatur-literatur matan atau riwayat hadits terbagi ke dalam beragam jenis. Salah satunya adalah musnad—sebuah model literatur yang hadits-haditsnya disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Di dalam musnad, hadits-hadits tidak disatukan berdasarkan tema tertentu, tetapi dikelompokkan atas dasar siapa sahabat yang meriwayatkannya.
Musnad Ahmad ibn Hanbal merupakan salah satu yang terpenting dari literatur-literatur hadits sejenis. Tulisan ini mencoba menganalisis beberapa hal penting di seputar musnad tersebut, terutama yang menyangkut sistematika tulisan dan metode penyusunan.

Musnad: Model Penyusunan Kitab Hadits di Abad 3 H
Hingga akhir abad kedua Hijriah, mayoritas literatur hadits disusun berdasarkan tema-tema fiqih. Tampaknya, para ulama dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk merumuskan sistem hukum Islam yang baku. Selain melayani kepentingan-kepentingan fiqih, literatur-literatur hadits di masa itu juga belum sepenuhnya memisahkan hadits-hadits Rasulullah dari pernyataan-pernyataan para sahabat dan tabi’in.
Pada akhir abad kedua dan awal abad ketiga, muncul hasrat untuk menulis kitab hadits dengan model baru yang hanya memuat hadits-hadits Rasulullah dan disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Model baru ini disebut musnad. Secara historis, munculnya kitab-kitab musnad menandai fase ketiga dari sejarah kodifikasi hadits, setelah fase shahîfah dan fase ta`lîf ’alâ abwâb al-fiqh.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama menyangkut penentuan siapa orang pertama yang menulis musnad. Al-Hakim menyebut nama ’Ubaydullah ibn Musa al-’Absi (w. 213 H). Ibn ’Adi menyebut tiga nama: Yahya ibn ’Abd al-Hamid al-Himmâni (w. 208 H) di Kufah, Musaddad ibn Musarhad (w. 228 H) di Basrah, dan Asad al-Sunnah (w. 212 H) di Mesir. Di luar dua pendapat itu, masih ada beberapa pendapat lain, termasuk pendapat yang menyatakan bahwa musnad Abu Dawud al-Thayalisi adalah musnad yang paling awal ditulis.
Akan tetapi, di dalam karyanya, Târîkh al-Turâts al-’Arabî, Fuat Sezgin menulis bahwa ada sebuah manuskrip musnad yang tersimpan di Perpustakaan al-Zhahiriyyah, Damaskus, karya Abdullah ibn al-Mubarak al-Juhfi (w. 182 H). Jika manuskrip itu benar-benar merupakan ”musnad” dalam pengertian yang kita sepakati, maka dapat dinyatakan bahwa itulah musnad paling awal yang bisa kita lacak hingga sekarang.
Demikian pula, tidak ada jumlah yang pasti menyangkut berapa jumlah musnad yang pernah disusun oleh para ulama. Sebagai ilustrasi, al-Kattani menyebut keberadaan sekitar 82 musnad dalam karyanya, al-Risâlah al-Mustathrafah. Tentu saja kita bisa mengasumsikan jumlah yang lebih banyak berdasarkan kenyataan bahwa tidak semua musnad yang penah ditulis oleh para ulama itu bertahan dan dapat diakses di masa kita ini.
Kesulitan lain dalam mengidentifikasi jumlah musnad tersebut adalah fakta bahwa banyak ulama menggunakan nama ”musnad” tidak dalam pengertian yang sama seperti apa yang dimaksud dalam tulisan ini. Bukhari, al-Darimi, Baqiy ibn Makhlad, Abu al-’Abbas al-Sarrâj, dan Abu Manshur al-Daylami adalah sebagian ulama yang karya-karya mereka disebut ”musnad”, meski tidak disusun berdasarkan periwayatan para sahabat.

Imam Ahmad dan Profil Musnadnya
Ahmad ibn Hanbal lahir di Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal, tahun 164 H dan wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tahun 241 H. Di masa hidupnya, yaitu di akhir abad kedua dan paruh pertama abad ketiga, persentuhan umat Islam dengan warisan-warisan peradaban asing, terutama Persia dan Yunani, berlangsung secara intens. Dalam banyak hal, unsur-unsur asing itu dirasa bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Berhadapan dengan pengaruh-pengaruh asing yang semakin luas menyebar itu, Imam Ahmad beserta para ulama yang lain menyerukan perlunya umat Islam kembali ke dasar-dasar ajaran agama mereka sebagaimana dipahami oleh para pendahulu—Rasulullah, para sahabat dan tabi’in. Dalam konteks perlawanan terhadap hal-hal dari ”luar” tersebut, tidak berlebihan kiranya jika Musnad ini dipandang sebagai bagian dari upaya mempermudah akses umat kepada sumber-sumber ajaran agama mereka yang paling elementer.
Selain itu, masa tersebut juga ditandai dengan konflik antar aliran dalam Islam yang mengemuka dan berlangsung secara terbuka, terutama perdebatan teologis di antara golongan muhadditsîn dan mutakallimîn. Imam Ahmad adalah ikon perlawanan golongan muhadditsîn terhadap golongan mutakallimîn, khususnya dalam persoalan: apakah al-Qur`an itu makhluk atau bukan? Imam Ahmad bersikeras memegang pendapat bahwa al-Qur`an bukan makhluk. Akibat pendiriannya itu, Imam Ahmad dipenjara dan disiksa dalam proses mihnah (inkuisisi) yang dilakukan oleh Khalifah al-Ma`mun dan al-Mu’tashim. Tetapi, sulit menentukan dengan pasti apakah inkuisisi itu memiliki pengaruh langsung bagi keputusannya menulis Musnad.
Dalam situasi konflik itu, muncul kecenderungan bahwa setiap kelompok yang bertikai mencari pembenaran bagi keyakinannya dari sumber-sumber ajaran Islam—al-Qur`an dan hadits. Sementara itu, belum ada pemilahan yang ketat antara hadits-hadits yang dapat diterima dan hadits-hadits yang harus ditolak. Hadits-hadits palsu pun menyebar luas di tengah-tengah masyarakat. Maka literatur-literatur hadits yang muncul di abad ketiga, termasuk Musnad Ahmad, dapat juga dilihat sebagai upaya para ulama untuk memurnikan hadits dari pemalsuan dan penyimpangan.
Di luar itu semua, Musnad ini pada dasarnya adalah intisari dari sekian tahun proses intelektual Imam Ahmad di bidang hadits. Karena itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa penyusunan Musnad sebetulnya telah dimulai sejak tahun 180 H—masa ketika Imam Ahmad baru memulai proses mempelajari dan mengumpulkan hadits. Pendapat tersebut memang bisa dipersoalkan, terutama karena ada juga pendapat bahwa Imam Ahmad memulai proses penyusunan Musnadnya ini di awal abad ketiga, tepatnya setelah dia pulang dari belajar hadits kepada ’Abd al-Razzaq di Yaman. Tetapi dari pernyataan Imam Ahmad sendiri, bahwa dia menyaring materi-materi hadits dalam Musnadnya itu dari 750 ribu hadits yang dihafalnya, kita dapat dengan aman menyimpulkan bahwa kalau pun Imam Ahmad baru memulai penulisan Musnadnya itu di masa-masa terakhir hidupnya, namun materi-materi yang ada di dalamnya telah dikumpulkannya sejak masa-masa yang sangat awal dari proses intelektual yang dijalaninya.
Musnad kemudian didiktekan oleh Ahmad kepada 3 orang murid dan putranya—Hanbal, Shalih dan Abdullah —beberapa tahun sebelum ia meninggal dunia. Tampaknya, Imam Ahmad meninggal dunia sebelum sempat menuntaskan perbaikan dan koreksi terhadap Musnadnya ini. Karena itu, beberapa orang, seperti al-Dzahabi, melihat adanya beberapa kesalahan kecil di dalamnya menyangkut penempatan hadits serta pengulangan-pengulangan yang tidak perlu.
Versi Musnad yang sampai ke tangan kita dewasa ini tidak sepenuhnya merupakan riwayat Imam Ahmad. Ahmad al-Sâ’ati menyatakan bahwa hadits-hadits di dalam Musnad, berdasarkan periwayatannya, terbagi menjadi enam kategori. Pertama, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal dari ayahnya secara samâ’an. Kategori inilah inti dari Musnad Ahmad dan meliputi lebih dari 3/4 bagiannya. Kedua, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah dari ayahnya sekaligus dari orang lain. Ketiga, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah dari orang lain dan tidak diriwayatkannya dari ayahnya. Kategori ini disebut oleh para ulama hadits sebagai ”zawâid ’Abdillâh”. Keempat, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah dari ayahnya qirâ`atan, bukan samâ’an. Kelima, hadits-hadits yang ditemukan oleh Abdullah dalam catatan yang ditulis sendiri oleh ayahnya dan tidak pernah diriwayatkannya dari ayahnya itu secara qirâ`atan maupun samâ’an. Hadits-hadits dalam kategori ini biasanya didahului dengan ungkapan “wajadtu bikhaththi abî...”. Keenam, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakr al-Qathî’î—murid Abdullah—dari orang lain di luar Ahmad dan Abdullah.
Musnad ini juga mengandung periwayatan Imam Ahmad terhadap shahîfah-shahîfah hadits yang ditulis di masa-masa yang sangat awal. Di antaranya adalah shahîfah milik Hammâm ibn Munabbih yang dikenal dengan ”Al-Shahîfah al-Shahîhah”, shahîfah milik Abdullah ibn ’Amr ibn al-’Âsh yang dikenal dengan ”Al-Shahîfah al-Shâdiqah”, shahîfah milik Samurah ibn Jundub, serta shahîfah milik Abu Salamah.
Tidak ada angka pasti menyangkut berapa jumlah hadits yang tercantum di dalam Musnad Ahmad. Beberapa orang menyebut angka 40.000. Sementara menurut Ibn al-Munâdî, jumlahnya 30.000. Dan Abu Bakr ibn Malik menyebut angka 40.000 hadits minus 30 atau 40 hadits. Sedangkan program CD-ROM Mawsû’ah al-Hadîts al-Syarîf mencantumkan 2 model numerasi untuk Musnad Ahmad: tarqîm al-’Âlamiyyah (26.363 hadits) dan tarqîm Ihyâ` al-Turâts (27.100 hadits).
Sahabat-sahabat yang hadits-hadits mereka diriwayatkan di dalam Musnad Ahmad berjumlah hampir 800 orang; 690-an laki-laki dan 96 perempuan. Semua itu diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari 283 guru.

Metode Pemilihan dan Kualitas Hadits-hadits Musnad Ahmad
Ada isyarat yang cukup jelas dari Imam Ahmad sendiri bahwa dia menginginkan Musnadnya ini menjadi pedoman bagi penentuan kualitas hadits-hadits yang beredar di masyarakat. Dia menyatakan, ”Aku menulis kitab ini untuk menjadi pedoman (imâm). Jika orang-orang berbeda pendapat tentang sunnah Rasulullah, maka kitab inilah yang mereka rujuk.”
Dalam pernyataannya yang lain, Imam Ahmad berkata, ”Jika kaum muslimin berselisih tentang sebuah hadits dari Rasulullah, maka hendaklah mereka merujuk kepada kitab ini. Jika mereka tidak menemukan hadits tersebut di sana, maka hadits itu tidak bisa dijadikan hujjah.”
Pernyataan-pernyataan itu seakan-akan menunjukkan bahwa semua hadits yang terdapat dalam Musnad benilai sahih. Tetapi ada pernyataan lain dari Imam Ahmad yang menunjukkan bahwa tidak semua hadits-hadits di dalam Musnadnya sahih berdasarkan kriterianya sendiri. Diriwayatkan bahwa Ahmad pernah berkata kepada putranya, Abdullah,
”Aku juga mencantumkan di dalam Musnad ini hadits-hadits masyhur dan kuserahkan masyarakat ke dalam perlindungan Allah. Seandainya aku bermaksud mencantumkan hanya hadits-hadits yang menurutku sahih, maka hanya sedikit hadits-hadits yang bisa kuriwayatkan [di dalam Musnad ini]. Tetapi, wahai Anakku, engkau tahu metode yang kugunakan dalam meriwayatkan hadits. Jika tidak ada hadits yang sahih dalam suatu bab tertentu, maka aku tidak akan menentang hadits-hadits yang ada, meski ia mengandung kelemahan.”

Para ulama sendiri berbeda pendapat menyangkut kualitas hadits-hadits yang terdapat dalam Musnad Ahmad. Secara umum, pendapat-pendapat mereka dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, ulama yang berpendapat bahwa semua hadits Musnad bisa dijadikan hujjah. Abu Musa al-Madîni termasuk mereka yang berpendapat seperti ini. Kedua, ulama yang berpendapat bahwa di dalam Musnad terdapat hadits-hadits sahih, dha’if, bahkan mawdhû’. Ibn al-Jawzi dan al-’Iraqi termasuk para ulama dalam kelompok kedua ini. Ketiga, para ulama yang berpendapat bahwa selain mengandung hadits-hadits sahih, Musnad juga mengandung hadits-hadits dha’if yang mendekati kualitas hasan. Di antara mereka terdapat al-Dzahabi, Ibn Hajar al-’Asqalani, Ibn Taymiyah dan al-Suyuthi.
Tampaknya, Imam Ahmad memang berusaha untuk melakukan seleksi secara ketat terhadap hadits-hadits yang akan dimasukkannya ke dalam Musnad. Dia sangat berhati-hati untuk tidak mencantumkan hadits-hadits yang berasal dari orang-orang yang diragukan kejujuran, integritas moral atau ketaatan mereka dalam menjalankan ajaran-ajaran agama. Tetapi mesti juga diakui, berdasarkan pernyataannya sendiri, bahwa dia sengaja memasukkan hadits-hadits yang masih problematis (fîhi dha’f) ketika tidak ditemukan hadits-hadits lain yang lebih sahih dalam persoalan yang sama. Itu barangkali bersumber dari keteguhannya memegang prinsip bahwa hadits dha’if harus didahulukan di atas penalaran rasional. Apalagi, di sisi lain, Imam Ahmad memang mendukung pendapat yang membolehkan periwayatan hadits-hadits dha’if—kecuali yang mawdhû’—menyangkut persoalan-persoalan tertentu yang tidak prinsipil, seperti at-tarhîb wa al-targhîb dan al-mawâ’izh.
Pernyataan bahwa seluruh hadits dha’if yang terdapat di dalam Musnad bisa dianggap mendekati kualitas hadits hasan patut juga dipertanyakan. Bahkan Ibn Hajar sendiri menyatakan bahwa ada tiga atau empat hadits di dalam Musnad yang tidak diketahui asal-usulnya (lâ ashla lahû). Terhadap ini, kita bisa mengajukan beberapa alasan. Pertama, Imam Ahmad sendiri barangkali memang tidak sempat menuntaskan proses perbaikan dan koreksi terhadap Musnadnya ini. Kedua, sebagaimana diungkapkan Ibn Hajar, Imam Ahmad barangkali pernah memerintahkan agar hadits-hadits dha’if itu dihapuskan, namun Abdullah lupa untuk menghapusnya. Ketiga, sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Taymiyah, boleh jadi hadits-hadits dha’if itu bersumber dari apa yang diriwayatkan oleh Abdullah dan al-Qathî’i dari guru-guru selain Imam Ahmad.

Sistematika Penyusunan Musnad Ahmad
Sesuai dengan definisinya, hadits-hadits di dalam musnad disusun berdasarkan para sahabat yang meriwayatkannya. Ada beberapa cara penyusunan urutan sahabat dalam penulisan kitab-kitab musnad. Sebagian musnad menyusunnya secara alfabetis. Sebagian yang lain menuliskannya berdasarkan kabilah. Model sistematika penyusunan Musnad Ahmad berbeda dengan dua model tadi.
Tidak ada kriteria tunggal yang dijadikan standar oleh Imam Ahmad dalam penyusunan urutan sahabat di Musnadnya. Dia memulai urutan itu dengan empat orang al-Khulafâ` ar-Râsyidûn, diikuti kemudian dengan 6 sahabat lain yang termasuk ke dalam 10 orang yang dijamin masuk surga. Sampai di sini, kriteria yang digunakannya barangkali adalah kedudukan atau tingkatan para sahabat berdasarkan siapa di antara mereka yang terlebih dahulu masuk Islam (al-asbaqiyyah fî al-Islâm).
Kemudian Imam Ahmad menulis riwayat para Ahl al-Bayt dan sanak kerabat Rasulullah, termasuk anggota Bani Hasyim. Setelah mereka, Imam Ahmad beralih kepada kriteria jumlah periwayatan dengan mencantumkan para sahabat yang meriwayatkan hadits dalam jumlah besar (al-muktsirûn min al-riwâyah).
Selanjutnya, dia menggunakan kriteria tempat dan domisili. Dalam kriteria ini, Imam Ahmad menyebutkan riwayat-riwayat para sahabat yang tinggal di Mekah (al-Makkiyyûn), lalu mereka yang tinggal Madinah (al-Madaniyyûn), lalu, secara berurutan, mereka yang tinggal di Syam (al-Syâmiyyûn), di Kufah (al-Kûfiyyûn), dan di Basrah (al-Bashriyyûn). Barulah, pada bagian berikutnya, Imam Ahmad mencantumkan riwayat-riwayat para sahabat Anshâr, kemudian para sahabat perempuan.
Mengenai penulisan bab, Imam Ahmad menjadikan setiap sahabat sebagai bab tersendiri. Di dalamnya, dia mencantumkan seluruh hadits yang diriwayatkannya dari sahabat tersebut lengkap dengan sanadnya. Jika terdapat perbedaan sanad atau demi tujuan tertentu, Imam Ahmad mengulang kembali pencantuman sanad atau matan hadits—seringkali kedua-duanya—pada tempat yang berbeda. Karena itu, jumlah hadits yang mengalami pengulangan mencapai seperempat bagian Musnadnya.
Imam Ahmad juga menggunakan kata ”musnad” atau ”hadîts” secara bergantian dalam penulisan judul bab. Secara umum, jika sebuah bagian meliputi beberapa orang sahabat, dia menggunakan kata ”musnad”, seperti Musnad Ahl al-Bayt atau Musnad al-Madaniyyîn. Kemudian untuk setiap sahabat di dalam kelompok itu, dia menggunakan kata ”hadîts”, seperti Hadîts al-Hasan atau Hadîts Tsâbit ibn ’Abdillâh, meski bab tersebut berisi lebih dari satu hadits. Tetapi hal ini tidak berlaku secara keseluruhan. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dan Umar, misalnya, diletakkan di dalam bab yang berjudul Musnad Abî Bakr dan Musnad ’Umar.
Jika ada dua hadits yang sanadnya sama dan disebutkan berurutan di dalam Musnad, maka Imam Ahmad hanya mencantumkan sanad tersebut di hadits yang pertama dan tidak mencantumkannya di hadits yang kedua. Sementara jika dua hadits tersebut memiliki sanad yang berbeda, maka Imam Ahmad mencantumkan masing-masing sanad itu pada hadits yang bersangkutan.
Dalam persoalan redaksi periwayatan hadits (shîghah al-adâ`), Imam Ahmad dikenal sangat ketat. Ia berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mengubah shîghah al-adâ` sebagaimana yang telah didengarnya dari gurunya. Artinya, jika gurunya meriwayatkan hadits dengan redaksi “haddatsanâ”, misalnya, maka ia tidak boleh mengubahnya dengan “akhbaranâ”. Karena itu, kita dapat mengasumsikan bahwa, dalam Musnad Ahmad, semua shîghah al-adâ` ditulis sebagaimana adanya.

Penutup
Dari segi kuantitas maupun kualitas, Musnad Ahmad ibn Hanbal adalah literatur yang sangat berharga. Ia merangkum hampir seluruh hadits-hadits penting yang berhubungan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Selain itu, jumlah hadits yang tercantum di dalam Musnad pun luar biasa banyak—sekitar 3 kali lebih banyak dari, misalnya, jumlah hadits yang terdapat dalam Shahîh al-Bukhârî.
Metode dan sistematika penulisan yang dipilih Imam Ahmad juga istimewa. Keputusannya untuk memilih model ”musnad” membuat kitabnya ini mampu mencakup hadits-hadits dalam jumlah yang besar. Tetapi, pada saat yang sama, keketatannya dalam merumuskan standar penerimaan hadits juga berhasil meminimalkan pencantuman hadits-hadits dha’if—sesuatu yang biasanya menjadi kelemahan kitab-kitab berjenis ”musnad”.


DAFTAR PUSTAKA

Halwah, Mahmud Abdul Khaliq. 2002. Manâhij al-Nubalâ` fî al-Riwâyah wa al-Tahdîts. Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah

Hanbal, Ahmad ibn. tt.. Al-Musnad. Kairo: Maktabah al-Turats al-Islami

Al-Jazari, Ibn. ”Al-Mash’ad al-Ahmad fi Khatm Musnad al-Imâm Ahmad” dalam pengantar untuk Ahmad ibn Hanbal. tt. Al-Musnad. Kairo: Maktabah al-Turats al-Islami

Al-Kattani, Muhammad ibn Ja’far. 1995. Al-Risâlah al-Mustathrafah li Bayân Masyhûr Kutub al-Sunnah al-Musyarrafah. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah

Al-Madini, Abu Musa. ”Khashâish al-Musnad”, dalam pengantar untuk Ahmad ibn Hanbal. tt. Al-Musnad. Kairo: Maktabah al-Turats al-Islami

Al-Sayyid, Muhammad Mubarak. 1984. Manâhij al-Muhadditsîn. Kairo: Dar al-Thibâ’ah al-Muhammadiyyah

Al-Suyuthi. tt.. Tadrîb al-Râwî fi Syarh Taqrîb al-Nawâwî. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah

Syakir, Ahmad. 2000. Al-Bâ’its al-Hatsîts li Syarh Ikhtishâr ’Ulûm al-Hadîts li Ibn Katsîr. Riyadh: Dar al-Salam

Al-’Umari, Akram Dhiyâ`. 1994. Buhûts fî Târîkh al-Sunnah al-Musyarrafah. Madinah: Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam

’Uwaydhah, Kamil Muhammad Muhammad. 1992. Ahmad ibn Hanbal: Imâm Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah

Zahw, Muhammad Muhammad Abu. tt.. Al-Hadîts wa al-Muhadditsûn. Kairo: Dar al-Fikr al-’Arabi

Al-Zahrani, Muhammad ibn Mathar. 1998. Tadwîn al-Sunnah al-Nabawiyyah; Nasy`atuhû wa Tathawwuruhû min al-Qarn al-Awwal ilâ Nihayah al-Qarn al-Tâsi’ al-Hijrî. Madinah: Dar al-Khudhayri

Mawsû’ah al-Hadîts al-Syarîf, Versi 1.2 (Program CD-ROM). 1996. t.k.: Syirkah Shakhr li Barâmij al-Hâsib

1 komentar:

Azha Nabil mengatakan...

Musnad Ahmad:Kitab Kumpulan Hadits Terlengkap Dan Terpercaya.

Kitab ini disaring dari tujuh ratus lima puluh ribu hadits yang dihafal oleh penyusunnya dan diakui kelayakannya untuk dijadikan hujjah oleh umat Islam.

Dalam sejarah khazanah keilmuan Islam, hadits Nabi Muhammad SAW laksana samudera yang tak kunjung habis digali. Setelah enam kitab induk yang usai dibahas edisi lalu, kali ini akan dikaji kitab kumpulan hadits termasyhur lainnya yakni Al-Musnad karya Al-Imam Al-Muhaddits Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali.

Dalam ranah keilmuan hadits, kitab Al-Musnad karya Imam Ahmad, atau biasa disingkat Musnad Ahmad, termasuk kitab induk hadits yang berada di level tujuh. Bersama kutubus sittah, Musnad Ahmad sering disebut kutubus sab’ah, kitab induk hadits yang tujuh.

Mengenai kualitasnya, kitab yang berisi empat puluh ribu hadits itu tidak diragukan lagi. Ibnul Jauzi, muhadits generasi sesudah Imam Ahmad , dengan tegas mengatakan, Musnad Ahmad merupakan kumpulan hadits-hadits shahih terpilih. Imam Ahmad ibn Hanbal sendiri menyatakan, hadits-hadits yang dimuat dalam Musnad-nya bisa dijadikan hujjah, sementara yang lainnya masih bisa disangsikan. Ini disebabkan Ahmad ibn Hanbal terkenal tidak meriwatkan hadits kecuali dari periwayat yang dapat dipercaya, demikian dikatakan Imam At-Taqi As-Sabuki. Info selengkapnya lihat http://www.thohiriyyah.com/2010/09/musnad-ahmadkitab-kumpulan-hadits.html

Semoga menambah wawasan kita. amin

Azha Nabil
Pondok Pesantren Ath-Thohiriyyah Purwokerto,Banyumas.

www.thohiriyyah.com

Komunitas

Entri Populer

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys