Followers

Jumat, 17 Desember 2010

Hanya Ikut-ikutan

Jam menunjukan pukul 8.30 saat bus yang akan membawa kami pergi datang. Dari Pahoman menuju Panjang. Bus yang kami tumpangi, perlahan berjalan menuju pemandangan. Salah satu lokalisasi yang ada di lampung.
Sepanjang perjalanan, dikiri-kanan jalan dari kejauhan nampak bukit berjajar. Rumah-rumah berdiri seperti anak tangga. Diberapa tempat hutan yang hijau masih terlihat. Di atas bukit, awan putih menyebar. Laut dikejauhan terlihat. Udara terasa panas. Di kanan jalan, ada sebuah pelabuhan. Pelabuhan Panjang. Di sebelah kiri terdapat pabrik Semen Baturaja. Lingkungan pabrik dipenuhi tumpukan batubara. Cerobong asap dari kerja pabrik mengeluarkan asap putih.
Tepat di ujung pagar melingkar pabrik, berbatasan dengan jalan kecil. Jalan Teluk Tomini Teluk Betung kami turun. Sebuah daerah yang terlihat sama dengan lainnya. Daerah pinggiran yang tenang. Memasuki jalan tomini, berjalan lurus. Kiri kanan jalan dipenuhi dengan pedagang dan barang dagangan. Sebuah pasar ala kadarnya, Pasar Tempel. Ada penjual sayur, ikan, ayam, dan perbagai kebutuhan rumah sehari-hari. Masyarakat memandang heran. Mungkin kedatangan kami secara bergerombolan mengejutkan.
Tiba dipersimpangan pertama, berbelok ke sebelah kanan. Sekitar 20 meter di depan, terdapat sebuah kantor kemitraan polisi masyarakat. Balai Pertemuan Kampung Sawah. Kantor ini juga dijadikan PAUD. Muridnya ada sepuluh orang. “ rata-rata berumur 5 tahun” menurut winda, guru PAUD.
Kami berkumpul dan mendapat intruksi dari panitia. Jam tangan menunjukan pukul 9.20 menit. Petualangan kami di mulai. Cukup sulit mendapatkan sumber berita. Penghuni wisma-wisma masih terlelap tidur. Capek bekerja semalaman. Cukup mudah menemukan tempat “main” para pekerja seks disini. Didepan rumah terpasang biilboard. Lengkap ditulisi fasilitas yang ada didalamnya. Karaoke dan biliard.
Ricky, panitia kegiatan ini saat kami temui mengatakan sebabnya pemilihan tempat ini.
“se-benarnya ini juga ada di enggal, dekat penginapan kita. Tapi kalo di enggal ga rame, ga banyak” jawabnya tersenyum malu
Kepala lingkungan yang juga ketua RT Way Lunik mengatakan bahwa selama ini tidak ada keributan palingan orang yang mabuk. Lokalisasi ini sudah dimulai pada tahun delapan puluhan lalu. “tepatnya nggak pasti, soalnya udah lama,” katanya.
KAMI MEMUTARI KAWASAN PEMANDANGAN. Sepi. Hanya ada satu, dua orang yang lalu lalang. Sampai di gang tiga, seorang ibu tua. Berdiri memegang sapu, membersihkan wisma. Seekor kucing tertidur di teras rumah. Plang tanda bertulis Wisma Melati. Didepan pintu masuk juga ada plang. SUTRA “Kawasan Wajib Kondom”.
Ragu sempat menjadi penghalang. Kami bertanya kepada Sanisi yang Berambut keriting, diikat acak. Berbaju daster coklat. Kaki kanannya terbalut perban sebatas mata kaki. Dengan alas sendal jepit berwarna hijau. Mata sebelah kirinya buta. Wanita ini tampak tak suka dengan kedatangan kami. Nada bicaranya ketus. Sesekali ia membentak dan tak menghiraukan pertanyaan. Dia berasal dari cirebon. Merantau ke Lampung sejak usia sepuluh tahun. Pemilik wisma dengan tiga orang asuhan.
Kami melanjutkan perjalanan menuju gang berikutnya. Tak jauh beda. Sepi. Kalau pun ada, mereka langsung menghindar. Keluar dari gang satu. Berbelok kearah kanan. Dua orang wanita sedang berhias diri. Duduk santai di teras rumah. Tina wanita berperawakan sedang. Rambut pendek sebahu. Lipstik merah. Baju dres pendek berwarna hijau. Celana jeans ketat. Di sebelahnya, Yati memakai Dress berwarna ungu.
Kami mendekatinya. Tinapun angkat bicara “kami disini bisu semuanya.” Katanya sambil mengipas tubuhnya.
Dengan kepala tertunduk ia mulai berbicara. “kami baru sebulan disini, sebelumnya di Indramayu”.
Ia dulu pernah menikah 2 kali. Menikah pertama waktu umur 14 tahun. Dari hasil pernikahannya itu ia memiliki 2 anak yang kini tinggal bersama di Indramayu. “mau gimana lagi, suka dukanya harus dihadapi,” selama di Lampung ia jarang keluar dari Pemandangan. “paling Jauh cuman ke Pasar Panjang” tutupnya.
Lain lagi dengan yati yang juga berasal dari Indramayu. Ia juga pernah menikah dan memiliki seorang anak. “udah lama cerai” ungkapnya.
Waktu menunjukkan pukul 10.10. kami terus menyusuri gang demi gang.
Sampai di ujung gang, belok kiri. Sebelah warung bu Jumiarti (38). Dua orang pekerja sedang duduk, mengobrol. Erna (30) berbadan besar. Perut buncit. Lengan berotot. Rambut pendek sebahu. Dengan memakai tank top garis-garis. Celana karet ketat. Yuni, berbadan subur. Montok. Memakai tank top merah muda. Rok jeans ketat. Langsung masuk kedalam kamar. Menurut Erna, ia memang pemalu. Baru satu bulan ia bekerja.
Ibu Jumiarti pemilik warung dan tempat pekerja ini menumpang.” Ya tahu sih mereka gitu. Tapi ya saya ga mau kalo maen disini. Buka lagu juga boleh keras-keras”. Ibu ini memberi ruang bagi kami untuk mendapatkan informasi. Ia sudah delapan belas tahun disana. Berdagang. Ibu dua orang anak ini mengaku prihatin dengan keadaan seperti ini. “anak saja dilempar ke jawa sama bude nya disana, ni yang masih smp juga ntar mau disuruh ke sana. Takut.”
Ditanya mengapa tidak coba pindah ke daerah lain, ia menjawab sedih. “ ya sebenarnya was-was apalagi kalo petugas sedang masuk. Ya kalo bisa, sekarang pindah”jawabnya tegas.
Jam sudah menunjukan pukul 11.30. kami berpencar. Ada yang sholat Jumat ada yang kePosko Balai pertemuan.
Setelah sholat jum’at di Mesjid Nurul Taqwa, saya menemui Pak Ujang Syafaat, pengurus masjid Nurul Takwa Dadakan. Ia memakai sorban, peci serta memiliki janggut putih. Ia mengatakan usaha yang baru bisa dilakukan untuk mengatasi lokalisasi ini, baru bisa mengadakan pengajian di Mesjid dan di Mushala Al-Tahzan di Pemandangan. “meskipun Kampung bersebelahan tapi kita merasa jauh,” katanya
Untuk kedepan ia sangat berharap agar pemerintah bisa menutup lokasi itu, karena sangat mengganggu. “untuk mengajak secara langsung kita belum berani, itu seharusnya tugas pemerintah, sebenarnya secara formal sudah ditutup oleh pemerintah, tapi prakteknya sampai sekarang masih ada,” tutupnya.
Pulang dari Sholat Jumat saya bergabung dengan teman-teman untuk makan siang yang diadakan oleh Panitia PJMTL. Setelah makan Kami meneruskan perjalanan terakhir di gang lima pukul 13:10. Di wisma bercat kuning kami tertarik untuk mewawancarai dua orang wanita berumur 21 tahun. Kesi dan Linda.
Dengan memakai kaos oblong merah muda yang dadanya kelihatan. celana jeans setengah paha ketat. Kesi menceritakan dulu sewaktu di sekolah ia sering ke dunia gemerlap (dugem). Sewaktu kelas 3 SMA ia pindah ke rumah adik ibunya di Panjang.
“waktu sekolah saya sering ikut Dugem mas, sehingga menjadi nakal, sehingga sekarang menjadi seperti ini,” kenangnya.
Sebelum bekerja kesi pernah menjadi pembantu rumah tangga, pengasuh bayi dan berdagang selama 4 bulan di Jakarta. Namun karenan ikut-ikutan teman akhirnya ia sampai di pemandangan ini. Ia sudah bekerja di wisma itu salama 6 bulan. “penghasilannya lumayan mas, tapi uang jinjing makan setan nggak halal”, katanya mengocok kartu remi sambil tertawa.
Ia sebetulnya sudah tunangan di kampungnya, Kota Bumi, Lampung Utara. Orang tuanya hanya tahu ia pergi ke Bandar Lampung untuk kuliah. “Orang tua dan tunangan saya nggak tahu kalau saya kerja seperti ini, kalau tahu bisa hancur saya mas,” ujarnya dengan raut muka sedih.
“saya tidak lama akan lama lagi disini, soalnya bulan depan saya mau menikah mas”
Ditanya masalah harga bandrol yang dipatok. Ia menjawab negosiasi dengan para lelaki hidung belangnya. “Tapi biasanya 200 ribu buat short time, ya kira-kira 5 menit lah. Kalo long time bias 250ribu-400 ribu setengah jamnya” lanjutnya.
Lain hal dengan Linda (21), wanita asal Hanura, padang cermin. Wajahnya polos. Berbadan kecil, putih. Rambut lurus sepinggang. Kaos oblong hitam. Sandal jepit hak berwarna emas. Rok hitam panjang bermotif polkadot. Ia baru lima bulan menetap di wisma ini. Wanita tamatan SMA yang pernah bercita-cita masuk kuliah UNILA, fakultas kedokteran ini mengaku tidak mengetahui tempat ini awalnya.
“saya ga tahu tu kalo mau di ajak kesini. Temen saya bilang Cuma mau ngajak kerja aja dulu”ujarnya
Linda sudah bekerja sejak umur 14 tahun. menjadi baby sister, pembantu, pelayan sudah ia lakoni. Kehidupannya berubah saat tamat SMA.
“ sebenarnya saya udah nikah loh”tiba-tiba ia berkata
“loh da nikah mbak?”Tanya ku terkejut
“ iya begitulah”. Umur tujuh belas tahun. Malam hari. Saat itu kebetulan ia sedang pulang ngaji dari mondok. Tak biasa dirumahnya begitu ramai. Para bujang teman sepupu nya berkumpul dirumahnya. Rasa capek membuatnya langsung masuk kamar. Tidur.
Tengah malam sekitar pukul 2, pintu kamarnya dibuka. Tiba-tiba, ia merasa tubuhnya tertindih. Sontak ia terbangun dan menjerit. AAAAHHHH
Sontak saja orang tua nya menuju kamarnya. Seorang laki-laki berusaha memperkosa-nya. Ia menangis. Orang tuanya marah. Keputusan fatal di ambil malam itu. Linda dipaksa menikah.
Ia merasa masa lajangnya digangu. “ saya ga mau. Kan saya juga belum diapa-apain. Tapi saya dipaksa nikah sama orang tua dan sepupu. Saya kan masih mau menikmati hidup seorang gadis” ungkapnya sedih. Walau pun begitu pernikahan tetap terjadi.
Meski tanpa rasa cinta ia melayani suaminya. Menurutnya di awal pernikahan suaminya baik sekali. Tapi lama-kelamaan mulai bersikap kasar. “ untung nggak saya laporin ke Polisi dia (suaminya), masih baik hati saya”ucapnya sambil tertawa
Sok kenal, sok dekat. Itu kesan pertama yang Linda dapatkan dari suaminya. Ditanya masalah “mami” ia menjelaskan , dalam satu bulan biasa mencapai 30juta. Penghasilan ini dibagi dua dengan mami.
Ruangan berukuran 3x4 tempat menjamu tamu. Ada lima kursi busa berwarna hijau, pegasnya sudah rusak. Sebuah meja dirapatkan kedinding. Diatasnya ada satu botol minuman keras dan gelas plastic warna merah muda. Sambil makan semangkuk bakso ia menjawab kami.
Tiba-tiba handphone berdering, dari lubang speaker terdengar “ PULANG”
Kami pamit sebentar dan bergegas untuk menuju mobil yang mengantar kami tadi.

0 komentar:

Komunitas

Entri Populer

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys