Followers

Rabu, 16 Maret 2011

Arah pemikiran Mahasiswa hari ini


Jika kita buka lembaran sejarah mahasiswa. Disana bisa kita dapati, bagaimana semangat mahasiswa merubah peradaban dunia. Dimulai pada awal abad ke-12 dengan berdirinya Universitas Bologna di Paris. Saat itu lebih dikenal dengan semboyan ‘Gaudeamus Igtiur, Juvenes Dum Sumus” (kita bergembira, selagi masih muda).

Pergerakan mahasiswa seyogyanya memberikan pencerahan baru dalam setiap sikapnya tak terkecuali di Indonesia, salah satu elemen yang turut membawa negara ini merdeka ialah kaum muda.

Gerakan pemuda di Indonesia ini dimulai dengan Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Namun, istilah pemuda tersebut sering di artikan dengan mahasiswa. Menurut saya Itu merupakan suatu wajar. Untuk membuat perubahan tidak cukup dengan semangat saja, namun juga dengan intelektual yang mapan. Sehingga mahasiswa memiliki nilai lebih seperti pergerakan yang lebih objektif dan relative bebas dari intrik politik.

Peran mahasiswa pada angkatan 66, 74 dan 98 telah memberikan label The Agent of Social Control. Apalagi perjuangan mereka tidak lain adalah penyalur lidah masyarakat yang tertindas pada masa rezim tertentu. Kekuatan moral yang terbangun lebih disebabkan karena mahasiswa yang selalu bergerak secara aktif. Seperti dengan turun ke jalan demi berteriak menuntut keadilan dan pembelaan terhadap hak-hak wong cilik.

Namun seiring perjalanan waktu gerakan mahasiswa akhir-akhir ini seperti kehilangan gregetnya, aksi-aksi penentangan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat tidak lagi mampu mengundang simpati mereka. Coba kita lihat beberapa aksi yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa. Pemerintah hanya memandang sebelah mata. Bahkan masyarakat cendrung menganggap mahasiswa cuma bisa ngomong dan demo. Apalagi sekarang ditemukan demo bayaran. Belum lagi perilaku-perilaku negative yang kian marak di kalangan mahasiswa. Ini membuat posisi mahasiswa sebagai agent of social control mulai kehilangan tajinya.

Faktor-faktor eksternal di atas semakin kompleks dengan permasalahan internal yang dihadapi oleh hampir semua organisasi pergerakan yaitu sepinya kader baru. Kader sebagai SDM organisasi memegang peranan vital menyangkut mati hidupnya organisasi. Hal ini disebabkan kebijakan pendidikan di Indonesia yang mulai berkiblat pada kapitalisme dan liberalisme. Pembatasan masa studi dan biaya SPP yang membumbung tinggi adalah bukti konkretnya.

Dengan permasalah yang dikemukakan diatas, Menurut penulis, setidaknya ada tiga hal yang seharusnya dilakukan aktivis untuk mengubah pola pikir mahasiswa. Pertama, menciptakan budaya membaa. Kita tentu kenal dengan slogan “dengan membaca kita genggam dunia. Kalau kita liat Negara maju, seperti Amerika yang saat ini menguasai peradaban dunia tercatat 100% penduduknya aktif membaca Koran harian. Jepang, Jerman dan negara maju lainnya Masyarakatnya adalah “kutu buku”. Penduduk negara tersebut sudah menjadikan buku sebagai sahabat yang menemani mereka kemana pun mereka pergi, Ketika antre membeli karcis, menunggu kereta, di dalam bus, dan aktifitas lainnya mereka tidak pernah lupa untuk menyempatkan membaca. Maka tak salah kalau perdaban mereka berjaya menguasai dunia.

Maka ini merupakan pekerjaan rumah yang serius bagi mahasiswa. Untuk melakukan sesuatu kita harus tahu apa itu. Maka dengan membaca mahasiswa bisa lebih berwawasan. Sehingga tri dharma perguruan tinggi bisa diamalkan oleh mahasiswa, salah satunya dengan membaca.

Komponen yang Kedua, menciptakan tradisi diskusi. Untuk bergerak, seorang mahasiswa harus mengedapankan nuansa gerakan intelektual (intellectual movement). Ini bisa diwujudkan dengan diskusi-diskusi yang dilakukan oleh organisasi.

Kalau kita lihat sekarang, banyak mahasiswa yang bergerak namun hanya ikut-ikutan. Jika melakukan aksi, tidak banyak yang mengetahui dan menguasai masalah yang dihadapi. Ini mengakibatkan pergerakan mahasiswa semakin miskin analisis dan hanya menjadi bahan cemoohon. Karena bergerak tidak sesuai dengan data yang kongkrit. Oleh karenanya, mahasiswa harus menciptakan budaya diskusi, sehingga mahasiswa lebih kritis dan bisa menguasai konsep-konsep dan mengaplikasikannya kepada khalayak. Sehingga bisa mengubah citra mahasiswa kepada masyarakat.

Ketiga, menciptakan budaya menulis. Media merupakan salah satu komponen untuk menciptakan kestabilan demokrasi suatu Negara. Oleh karena itu, mahasiswa harus bisa mengaktualisasikan pemikirannya melalui tulisan. Banyak orang yang pandai bicara, namun tidak bisa menuliskannya. Ini merupakan kelemahan mahasiswa hari ini. jadi, menurut penulis, ini menjadi tanggung jawab organisasi. Dengan adanya wadah dari organisasi seperti Lembaga Pers Mahasiswa dan lain sebagainya bisa menciptakan budaya menulis ini.

Dengan melakukan tiga hal diatas, membaca, diskusi dan menulis. Mahasiswa bisa merubah paradigma pergerakan tanpa mengubah posisinya sebagai agent of social control. Semoga ke depan mahasiswa tetap peduli dengan sekitar dan bersikap objectif. Salam perjuangan.

Dimuat di Harian Singgalang...

0 komentar:

Komunitas

Entri Populer

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | free samples without surveys